Tahukah kamu tentang negara Bhutan? Jika belum, simak artikel ini sampai selesai! Negara kecil yang berada di ujung timur Pegunungan Himalaya ini, menyimpan fakta unik dan menarik, yang jarang diketahui.
Bhutan merupakan negara kerajaan yang menganut agama Buddha. Wilayahnya kecil dan aksesnya terbatas bagi wisatawan asing, Bhutan dikenal sebagai negara bahagia di Asia, bahkan termasuk jajaran negara bahagia di dunia.
Pemerintah Bhutan lebih mengutamakan Gross National Happiness (Kebahagiaan Nasional Bruto) ketimbang Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dibalik kebahagiaan itu, ada satu fakta budaya yang mengejutkan.
Di Bhutan, wanita diperbolehkan punya suami lebih dari satu atau Poliandri. Pernikahan seorang wanita menikah dengan beberapa pria.
Poliandri di Bhutan: Tradisi, Bukan Sensasi
Tradisi poliandri seperti itu, ada di daerah pegunungan dan daerah terpencil, Bhutan bagian timur dan utara. Biasanya, seorang wanita menikah dengan beberapa saudara laki-laki yang masih satu keluarga.
Tujuannya berkaitan erat dengan harta warisan keluarga, agar tidak pindah ke orang lain. Namun kini, praktik perkawinan poliandri sudah jarang ditemukan, dan mulai ditinggal oleh generasi muda. Meski begitu, keberadaannya diakui secara budaya, tetapi tidak diakui secara hukum.
Bhutan: Negara yang Lama Menutup Diri dari Dunia Luar
Secara geografis, Bhutan terletak di Asia Selatan, diapit dua negara raksasa: Tiongkok di utara dan India di selatan. Negara ini berada di antara dua kekuatan negara besar, luas wilayahnya sekitar 38.394 km², sedang jumlah penduduknya sekitar 760.000 jiwa.
Menariknya, meski berada dalam geopolitik dua negara besar, Bhutan berhasil mempertahankan budaya dan jati dirinya. Salah satu caranya, bertahun-tahun menutup diri dari dunia luar.
Negeri Naga Guntur yang Tertutup
Hingga 1974, Bhutan dikenal negara tertutup. Bahkan, penduduknya tidak diizinkan menikah dengan orang asing, dan hanya diperbolehkan menikah dengan warga negara asli Bhutan. Aturan ini diberlakukan sebagai bentuk proteksit erhadap budaya.
Upaya melestarikan nilai-nilai tradisional, adat istiadat, dan kehidupan masyarakat yang menyatu dengan alam. Bhutan, bukan negara yang mengejar modernitas, negara ini lebih memilih menjaga kelestarian budaya dan alam, dibanding membuka diri. Khawatir pengaruh luar mengikis jati diri bangsa.
Mulai Terbuka, Tapi dengan Syarat
Barulah tahun 1974, Bhutan resmi membuka diri dengan dunia luar. Wisatawan mancanegara diperbolehkan masuk, dengan syarat membayar biaya masuk mahal. Langkah ini diambil untuk membatasi jumlah wisatawan asing yang datang, agar tidak memludak sehingga merusak tatanan budaya lokal.
Biaya masuk yang mahal itu bukan semata-mata mengejar keuntungan ekonomi, melainkan sebagai bentuk seleksi alam. Hanya wisatawan yang menghargai budaya dan keunikan Bhutan yang diizinkan datang. Cara ini efektif untuk menjaga keaslian tradisi, lingkungan, serta pola hidup masyarakat Bhutan.
Hidup Tanpa Listrik: Kisah Bhutan Sebelum Era Digital
Hingga akhir abad ke-20, kehidupan di Bhutan masih sederhana dan jauh dari hiruk pikuk modernitas. Negara yang terletak di lereng Himalaya ini pernah hidup tanpa televisi, internet, bahkan tanpa listrik.
Tahun 1960-an, Bhutan belum punya jalan raya, mobil, jaringan telepon, kantor pos. Akses masuk ke negara diobatasi. Barulah akhir 1999 hingga awal 2000-an, pemerintah Bhutan mengizinkan penggunaan alat elektronik, seperti televisi dan jaringan internet.
Momen bersejarah ini bertepatan dengan ulang tahun ke-25 Putra Mahkota Bhutan kala itu, yakni Jigme Khesar Namgyel Wangchuck. Sebagai bentuk perayaan, akses internet resmi diperkenalkan di Bhutan, meski baru segelintir orang yang dapat mengakses.
Negara Terakhir yang Kenal Televisi dan Internet
Kebijakan 1999 ini menjadikan Bhutan sebagai negara terakhir yang membolehkan televisi dan internet. Pembatasan akses ini bukan bentuk keterbelakangan, melainkan bagian filosofi Bhutan untuk menjaga ketenangan batin dan kehidupan sosial warganya.
Sebagai wujud konkret dari nilai-nilai ini, pemerintah bahkan membentuk lembaga yang unik, yaitu Kementerian Kebahagiaan.
Kementerian Kebahagiaan: Mengukur Bukan dengan Uang, Tapi Makna Hidup
Berbeda dari negara lain yang kemajuan negaranya diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB), Bhutan memperkenalkan konsep Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto.
Konsep tersebut mengutamakan kebahagiaan sebagai indikator kemajuan negara. Kualitas hidup tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi juga dari keseimbangan mental, spiritual, lingkungan, dan komunitas.
Di Bhutan, tidak ada warga yang tinggal di jalanan atau hidup tanpa tempat tinggal. Jika ada warga yang tidak punya rumah, ia berhak menghadap langsung ke raja. Dan sang raja akan memberi lahan untuk membangun tempat tinggal dan bertani. Ini bentuk nyata kepedulian negara terhadap warganya.
Tanpa Lampu Lalu Lintas di Ibu Kota
Keunikan Bhutan yang lain adalah, salah satu negara yang tidak ada lampu lalu lintas, termasuk ibu kotanya, Thimphu, serta kota-kota besar lainnya. Sebelumnya, sempat dipasang beberapa lampu lalu lintas di jalan-jalan utama.
Namun, warga Bhutan mengeluh dan tidak nyaman dengan lampu otomatis itu. Akhirnya, seluruh lampu lalu lintas dicabut. Sebagai gantinya, petugas kepolisian lalu lintas mengatur arus kendaraan. Pemandangan ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Bhutan.
Cabai Bukan Sekadar Bumbu: Kebiasaan Unik Makan Pedas di Bhutan
Jika berkunjung ke Bhutan, hampir semua kulinar arau makanan rasanya super pedas. Cabai bukan sekadar pelengkap masakan, tetapi sebagai sayuran yang wajib ada di setiap hidangan.
Masyarakat Bhutan mengonsumsi cabai setiap hari, dalam berbagai olahan kuliner tradisional. Salah satu masakan paling populer adalah Ema Datshi, yaitu cabai yang dimasak bersama keju khas Bhutan. Bagi orang Bhutan, makanan yang tidak pedas dianggap kurang nikmat.
Mengapa Cabai Jadi Makanan Pokok?
Alasan kebiasaan makan pedas di Bhutan tak lepas dari geografis dan iklim. Bhutan terletak di pegunungan Himalaya, dengan suhu udara dingin sepanjang tahun, terutama di dataran tinggi.
Makanan pedas dipercaya menghangatkan tubuh dan menjaga suhu badan tetap stabil. Karena itulah, cabai wajib di hampir semua jenis masakan. Bahkan, pemandangan cabai dijemur di atap rumah dianggap biasa.
Poligami dan Poliandri di Bhutan: Tradisi Keluarga demi Menjaga Warisan
Bhutan dikenal sebagai negara beragam tradisi unik, termasuk perkawinan. Sejak 1980-an, Bhutan melegalkan praktik poligami dan poliandri, pria boleh memiliki istri lebih dari satu, dan wanita boleh kawin dengan pria lebih dari satu.
Praktik perkawinan seperti itu dibolehkan, asal mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Artinya, pernikahan poligami maupun poliandri harus sukarela dan disepakati bersama oleh keluarga pasangan.
Diakui Tradisi, Bukan Secara Hukum
Meskipun dibolehkan secara budaya, perkawinan poligami dan poliandri tidak diakui secara resmi oleh hukum, baik hukum sipil maupun hukum adat. Dalam kasus poliandri, misalnya, hanya satu dari beberapa suami yang dianggap sah secara hukum sebagai suami resmi.
Tujuan Tradisi: Menjaga Warisan dalam Keluarga
Tradisi ini memiliki tujuan menjaga agar harta warisan tidak jatuh ke tangan orang luar. Dalam praktiknya, poliandri biasanya terjadi saat seorang perempuan menikah dengan beberapa saudara laki-laki satu keluarga. Misalnya, seorang wanita menikah dengan suami dan adik-adik laki-lakinya.
Sebaliknya, dalam praktik poligami, seorang pria yang ingin memiliki istri kedua harus menikahi adik perempuan dari istrinya. Dengan demikian, semua hubungan tetap berada dalam lingkup keluarga.
Praktik yang Ditinggalkan
Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya pendidikan serta modernisasi, praktik poligami dan poliandri jarang ditemukan di Bhutan. Generasi muda lebih memilih pernikahan sesuai hukum yang berlaku.
Namun demikian, keberadaan tradisi ini masih menjadi bagian penting dari warisan budaya Bhutan, yang mencerminkan masyarakat dahulu menyesuaikan nilai-nilai sosial dengan kebutuhan hidup dan lingkungan.
Kesimpulan
Bhutan adalah negara kecil di pegunungan Himalaya yang menyimpan keunikan, baik sisi budaya, sosial, maupun kebijakan pemerintahan. Meski sempat menutup diri dari dunia luar hingga 1974, Bhutan berhasil mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang hidup selaras dengan alam dan nilai-nilai tradisional.
Tradisi unik seperti poliandri dan poligami dalam lingkup keluarga, kebiasaan makan cabai dan hidup tanpa listrik, internet, dan lampu lalu lintas hingga akhir abad ke-20, bukti Bhutan menjaga warisan leluhurnya.
Bahkan ukuran kemajuan, Bhutan berbeda dari kebanyakan negara. Mereka tidak mengandalkan Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan Gross National Happiness (Kebahagiaan Nasional Bruto), sebagai tolak ukur kualitas hidup warganya.
Di era modern ini, meski beberapa tradisi ditinggalkan, Bhutan tetap dikenal dunia sebagai negara damai, bahagia, dan kaya akan kearifan local, sesuatu yang sulit ditemukan di tengah derasnya arus globalisasi.***
Penulis : Agus Purwoko
Editor : Gusmo
Sumber Berita: Berbagai Sumber