Gunung Argopuro berdiri megah di wilayah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Situbondo serta Kabupaten Bondowoso. Ketinggiannya 3.088 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Argopuro, salah satu gunung berapi yang sudah tidak aktif, yang menyimpan pesona alam dan sejarah. Jalur Pendakian Gunung Argopuro, merupakan trek terpanjang di Pulau Jawa. Untuk ke puncaknya, harus menempuh perjalanan 40 kilometer lebih, kalau lewat rute Baderan–Bremi.
Perjalanan sejauh itu butuh waktu antara 4 hingga 6 hari, tergantung stamina dan strategi pendaki. Di sepanjang jalur, pendaki akan melewati hamparan sabana, hutan hujan tropis, dan situs bersejarah yang tersembunyi di belantara.
Menjelajahi Keindahan dan Keheningan
Pendakian Gunung Argopuro bukan hanya fisik, tetapi perjalanan spiritual. Jalurnya yang panjang dan sepi, menjadikan gunung ini sebagai tempat wisata favorit bagi pendaki yang mencari ketenangan dan petualangan sejati.
Sepanjang rute, pendaki akan menemukan titik atau tempat istirahat, seperti Danau Taman Hidup dan padang rumput Cikasur, yang konon landasan pesawat peninggalan Belanda. Karena panjang dan kompleksnya medan, Gunung Argopuro tidak direkomendasi untuk pendaki pemula.
Tiga Puncak dan Misterinya
Gunung Argopuro memiliki tiga puncak, yaitu:
Puncak Rengganis, yang diyakini tempat pertapaan Dewi Rengganis. Di puncak ini terdapat reruntuhan bangunan batu dan kolam kecil yang diasosiasikan dengan situs peninggalan kerajaan masa lalu. Suasana di sekitar puncak digambarkan magis dan misteri.
Puncak Argopuro, titik tertinggi. Dari sini, pendaki dapat menikmati panorama, seperti cakrawala yang membentang di atas hamparan pegunungan.
Puncak Arca, karena ada batu menyerupai arca yang diyakini punya nilai spiritual oleh masyarakat sekitar.
Asal Usul Nama Argopuro
Nama Argopuro berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, “Argo” yang berarti gunung atau bukit, dan “Puro” yang berarti pura, keraton, atau tempat suci.
Secara harfiah, Argopuro diartikan “Gunung Pura” atau “gunung tempat suci”. Nama ini merujuk pada keberadaan situs-situs kuno yang ada di puncaknya, seperti puing-puing bangunan berbentuk pura, kolam batu, dan tumpukan batu berpola yang diyakini bagian dari kompleks pemujaan umat Hindu masa lalu.
Dimungkinkan puncak Gunung Argopuro pernah ditempati pertapaan atau pusat spiritual umat Hindu abad ke-12 M, sebelum Islam menyebar ke wilayah timur Jawa. Hal ini diperkuat oleh bentuk struktur bangunan di puncak Rengganis, yang menyerupai pura Bali ketimbang candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Nama “Argopuro” tidak hanya mencerminkan kondisi geografi, tetapi menyimpan makna sakral dan historis. Gunung ini dianggap tempat yang suci dan penuh aura spiritual, bahkan hingga kini masih menjadi lokasi ritual atau ziarah bagi sebagian masyarakat setempat.
Daftar situs arkeologi yang ditemukan di jalur pendakian Gunung Argopuro, beserta penjelasan singkat. Situs-situs ini bukti kalau kawasan Argopuro pernah menjadi pusat kegiatan spiritual dan pemukiman kuno, meski sebagian besar tersisa puing-puing.
Daftar Situs Arkeologis di Jalur Pendakian Gunung Argopuro
1. Puncak Rengganis
Jenis situs: Reruntuhan bangunan batu, kompleks pura atau keraton
Keterangan: lokasi yang terkait dengan legenda Dewi Rengganis. Di sini ditemukan struktur pagar batu, pondasi bangunan, dan kolam batu. Situs ini diyakini sebagai kompleks pertapaan atau kuil Hindu abad ke-12 M.
2. Kolam Rengganis (Kolam Putri)
Jenis situs: Kolam batu
Keterangan: kolam berbentuk persegi dengan batu tersusun rapi, yang disebut-sebut tempat mandi Dewi Rengganis dan para dayang. Letaknya tidak jauh dari area Puncak Rengganis.
3. Taman Rengganis
Jenis situs: Lanskap buatan (kemungkinan taman kerajaan)
Keterangan: Area datar di dekat Puncak Rengganis dengan batu yang tertata alami, teratur, dianggap sebagai bekas taman kerajaan.
4. Puncak Arca
Jenis situs: Arca batu dan tumpukan struktur batu
Keterangan: Ditemukan fragmen arca dan batu yang diduga bagian dari tempat pemujaan atau altar. Lokasi ini dianggap sakral oleh masyarakat lokal.
5. Cikasur
Jenis situs: Reruntuhan pemukiman kolonial
Keterangan: Bekas landasan pacu dan pemukiman zaman Belanda, yang juga ditempati peternakan rusa. Walau bukan peninggalan era Hindu-Buddha, kawasan ini punya sejarah kolonial.
6. Cisentor
Jenis situs: Batu-batu berpola alami dan area perkemahan
Keterangan: Titik pertemuan aliran sungai dan jalur lama. Ditemukan batu besar yang dipercaya bagian dari struktur spiritual atau tempat beristirahat pertapa zaman dahulu.
Catatan Tambahan:
Hingga kini, sebagian besar situs tersebut belum diteliti secara komprehensif oleh arkeolog resmi, sehingga nilai sejarah dan fungsinya masih berdasarkan penafsiran masyarakat serta pendaki.
Konservasi belum dilakukan secara sistematis, sehingga banyak situs yang rusak akibat alam dan aktivitas manusia. Selain situs, di rute perjalanan pendakian terdapat savana luas yang dikenal dengan nama Cikasur
Cikasur: Keindahan Savana yang Menyimpan Luka Kolonial di Gunung Argopuro
Cikasur adalah padang savana luas di kawasan Gunung Argopuro, Jawa Timur. Bentangan ilalang dan lanskap terbuka yang mempesona menjadi tempat favorit para pendaki untuk beristirahat atau bermalam.
Pada era Hindia Belanda, Cikasur bukan hanya hamparan alam liar. Kawasan tersebut pernah dibangun landasan udara, sarana pendukung operasi militer dan logistik yang strategis. Letaknya tersembunyi di ketinggian dan sulit dijangkau.
Hingga kini, jejak keberadaan fasilitas tersebut masih ada. Lapangan terbuka yang datar, puing menara pengawas yang telah roboh, serta mesin genset tua yang nyaris tertelan semak belukar. Di badan genset tersebut tertulis angka “1912”, yang menunjukkan tahun produksi atau awal masa pemakaian.
Yang mencengangkan, Cikasur diduga menjadi “ladang pembantaian” (killing field) dimasa kolonial, catatan kelam yang tertimbun waktu. Sejauh ini, belum banyak penelitian atau dokumentasi resmi mengenai peristiwa tersebut. Namun narasi turun-temurun masyarakat lokal dan fragmen cerita menyisakan tanda tanya tragedi yang mungkin pernah terjadi.
Cikasur, padang savana yang terletak di jalur pendakian Gunung Argopuro, di kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo, Jawa Timur. Lokasinya di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan menjadi salah satu spot paling ikonik sekaligus eksotis para pendaki gunung.
Ciri Khas Cikasur:
- Lanskap terbuka luas berupa padang rumput (savana) dengan sedikit pepohonan.
- Dikelilingi pegunungan dan perbukitan, menawarkan pemandangan matahari terbit dan terbenam
- Dijadikan tempat berkemah oleh para pendaki, area datarnya luas dan akses ke sumber air dekat.
Sejarah dan Misteri:
Cikasur bukan sekadar tempat indah, namun juga menyimpan sejarah kolonial misterius dan kelam:
Pada masa penjajahan Belanda, daerah ini dibangun sebagai landasan udara rahasia (airstrip) untuk mendukung operasi militer dan tempat logistik.
Terdapat sisa-sisa infrastruktur tua, seperti fondasi bangunan, menara pengawas yang roboh, dan genset buatan awal abad ke-20.
Konon, pernah terjadi pembantaian massal di kawasan ini, yang menjadikannya dijuluki sebagai “ladang pembantaian” (killing field) oleh sebagian masyarakat dan pendaki yang mendengar kisah turun-temurun dari warga lokal.
Akses dan Pendakian:
Cikasur terletak di jalur pendakian Bremi – Baderan, yang merupakan rute lintas dari barat ke timur (atau sebaliknya) Gunung Argopuro.
Untuk mencapai Cikasur, pendaki harus menempuh perjalanan panjang, biasanya 2–3 hari dari titik awal pendakian tergantung rute dan kondisi fisik.
Catatan:
Cerita tentang pembantaian di Cikasur masih bersifat cerita rakyat dan belum banyak didokumentasikan secara akademis. Namun, banyak pendaki dan warga lokal yang mempercayai kisah ini sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Gunung Argopuro.
Lokasi Bekas Landasan Pesawat: Jejak yang Terlupakan
Bekas landasan pesawat di Cikasur menyimpan kisah yang panjang. Setelah dibangun dan digunakan oleh tentara kolonial Belanda, fasilitas ini sempat dikuasai militer Jepang selama masa pendudukan. Menjelang kemerdekaan Indonesia, pernah ditempati Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai pos pertahanan sementara.
Namun karena lokasinya yang di pegunungan terpencil, jauh dari jalur logistik, landasan ini akhirnya ditinggalkan dan dilupakan. Waktu dan alam mengambil alih wilayah tersebut, menyisakan puing-puing sebagai saksi bisu.***