SuaraBhinneka.id (Sragen, Jawa Tengah) – Gunung Kemukus, bukit kecil di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, telah mengalami transformasi. Awalnya dikenal situs ziarah tradisional yang sakral di makam Pangeran Samudro. Tempat ini terkenal dengan stigma negatif, Gunung Seks.
Akibat praktik ritual menyimpang yang berkedok ibadah. Namun, melalui intervensi pemerintah, situs ini berhasil direvitalisasi dan direbranding The New Kemukus, destinasi wisata religius dan keluarga.
Tinjauan Geografis dan Umum
Gunung Kemukus berada di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Meski bernama ‘gunung’, secara fisik tempat ini bukit kecil yang berdiri di sisi aliran sungai Waduk Kedung Ombo.
Lokasinya dapat diakses dari Kota Sragen melalui jembatan panjang yang melintasi waduk tersebut. Kawasan ini merupakan objek wisata yang buka 24 jam. Harga tiket masuk hanya Rp5.000 per orang, plus parkir kendaraan.
Nama Kemukus tidak berasal dari tumbuhan kemukus, melainkan dari fenomena alam yang terkait dengan makam Pangeran Samudro. Konon, saat-saat tertentu, seperti menjelang musim hujan atau kemarau, bukit ini diselimuti kabut hitam yang menyerupai asap atau kukus.
Dari Situs Suci Menjadi “Gunung Seks”
Gunung Kemukus adalah destinasi wisata religi, makam keramat tokoh keturunan Majapahit bernama Pangeran Samudro. Ziarah ke makam pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon atau Jumat Kliwon.
Namun, tempat ini sempat mendapat citra negatif dan disorot media lokal dan internasional, yang dikenal dengan Gunung Seks, akhir 2014. Stigma ini muncul akibat praktik menyimpang yang dipercaya sebagian orang sebagai ritual untuk mendapatkan kekayaan atau pesugihan, dengan cara berzinah.
Pangeran Samudro dan Raden Ayu Ontrowulan
Identitas Gunung Kemukus dibentuk oleh dua mitologi tentang tokoh yang dimakamkan di tempat tersebut, yakni Pangeran Samudro, dan ibunya, Raden Ayu Ontrowulan.
Pangeran Samudro, tokoh suci putra Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Kerajaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit, Pangeran Samudro menjadi mualaf dan berguru kepada Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa.
Pangeran Samudro dikenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan penyebar ajaran Islam. Dalam perjalanan jatuh sakit dan meninggal di Dukuh Doyong, lalu dimakamkan di sebuah bukit yang kini dikenal Gunung Kemukus.
Sedang Raden Ayu Ontrowulan, adalah ibunda Pangeran Samudro, terpukul atas kematian putranya. Ia mendatangi makam Pangeran Samudro, hingga tertidur dan bertemu putranya diu dalam tidurnya.
Atas petunjuk Pangeran Samudro, Raden Ayu Ontrowulan mandi di mata air yang kemudian dinamai Sendang Ontrowulan. Berkat cinta yang tulus dan kesuciannya, Raden Ayu Ontrowulan diyakini moksa (spiritual liberation), makam jasadnya hingga kini tidak ditemukan.
Sepasang Kekasih Insestuos yang Terkutuk
Pendapat kedua, legenda yang melatarbelakangi praktik menyimpang. Kisah ini menceritakan Pangeran Samudro sebagai putra Raja Majapahit, jatuh cinta kepada ibu tirinya, Dewi Roro (nama lain dari Raden Ayu Ontrowulan).
Cinta terlarang itu berbalas, mereka berdua melarikan diri. Namun, mereka tertangkap saat hendak berhubungan intim. Keduanya dibunuh sebelum hasrat birahinya terpenuhi di tempat dan dikuburkan dalam satu liang lahat di Gunung Kemukus.
Mitos ini diyakini sebagian peziarah sebagai dasar ritual untuk memohon agar permintaan kekayaan, terkabul. Konon, Pangeran Samudro berpesan dari alam gaib, siapa pun yang menyelesaikan tindakan intim atau berhubungan layaknya suami-istri, permintaannya akan dikabulkan oleh dewa.
Makam dan Sendang Ontrowulan
Gunung Kemukus punya dua lokasi yang dianggap suci dan pusat kegiatan ziarah, yakni makam dan sendang. Makam Pangeran Samudro, tujuan utama para peziarah. Sebelum mengunjungi makam, para peziarah bersuci terlebih dahulu di Sendang Ontrowulan.
Sendang ini konon tempat suci Raden Ayu Ontrowulan membersihkan diri sebelum bertemu putranya. Air sendang tersebut dipercaya membawa berkah dan menyehatkan
Ziarah Tradisional sebagai Bentuk Penghormatan
Di Gunung Kemukus, ziarah tradisional, merupakan penghormatan kepada Pangeran Samudro dan mengenang jasanya atas penyebaran Islam. Peziarah membawa bunga, berdoa, bertawasul, atau tahlil di makam.
Ritual Menyimpang: Praktik Seks
Gunung Kemukus terkenal karena praktik menyimpang yang berkembang di luar ritual ziarah tradisional. Praktik ini sebagai ritual pesugihan atau ngalab berkah (mencari berkah) untuk kekayaan. Para pengikut mitos mengharuskan peziarah berhubungan seks dengan lawan jenis yang bukan pasangan sah.
Ritual ini harus dilakukan tujuh kali dalam periode satu lapan (35 hari), dengan kunjungan terakhir malam Jumat Pon atau Jumat Kliwon. Praktik ini dilakukan untuk menyelesaikan hubungan intim Pangeran Samudro dan Dewi Roro yang tidak sempat terlaksana.
Peziarah yang melakukan ritual ini bisa membawa pasangan sendiri atau bertemu dengan orang asing di lokasi. Motivasi lain di luar kekayaan juga ada, seperti mencari jodoh atau meminta jabatannya naik.
Ritual yang tidak biasa ini menciptakan ekosistem ekonomi ilegal. Permintaan pasangan yang bukan suami atau istri sah mendorong pertumbuhan prostitusi di kawasan tersebut. Puluhan PSK dan mucikari beroperasi di gubuk-gubuk semi permanen, rumah sewaan, dan warung-warung karaoke di sekitar area makam.
Biayanya terjangkau, sekitar Rp50.000, atau dengan menyewa kamar seharga Rp30.000 semalam. Kebutuhan ritual yang menuntut peziarah berhubungan intim dengan bukan pasangannya, berulang-ulang sebanyak tujuh kali dalam periode tertentu.
Kontroversi Gunung Kemukus mencapai puncaknya akhir 2014. Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ganjar Pranowo, secara tegas menyoroti penyimpangan ini, menyatakan Gunung Kemukus seharusnya menjadi objek wisata religi yang bebas prostitusi.
Intervensi Pemerintah: Pendekatan Dua Arah
Pemerintah menanggapi situasi ini dengan strategi dua arah yang komprehensif, menggabungkan penegakan hukum dengan revitalisasi ekonomi.
Langkah pertama penertiban. Pemerintah Kabupaten Sragen menutup 60 tempat karaoke lebih, yang digunakan transaksi seks.
Solusi jangka panjang, mengubah citra dan fungsi situs. Pemerintah menginvestasikan anggarannya Rp48,45 miliar untuk revitalisasi berupa pembangunan fasilitas baru, seperti terminal pengunjung, area kuliner, tugu megah sebagai ikon baru, dan promenade.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sragen, mengutuk praktik tersebut. MUI menyebut sebagai bentuk syirik dan maksiat yang merusak tatanan keluarga dan berpotensi menyebarkan penyakit HIV/AIDS. MUI merekomendasi agar status Gunung Kemukus diubah dari wisata religi menjadi kawasan rekreasi dan edukasi.
Daya Tarik Lain di Gunung Kemukus
Sebenarnya, gunung ini menyimpan pesona lain yang tak kalah menariknya. Dari puncaknya, wisatawan bisa melihat pemandangan Waduk Kedung Ombo terbentang luas dengan indahnya. Trutama saat pagi hari ketika kabut tipis menyelimuti permukaan air, atau sore hari saat matahari hendak tenggelam, menciptakan pantulan warna emas yang menakjubkan.
Bagi yang gemar menyelami budaya lokal, Gunung Kemukus menawarkan pengalaman hangat dan meriah. Suasana pasar malam dan keramaian pada hari pasaran membawa nuansa tradisional Jawa yang kental. Aroma jajanan, suara pedagang, dan tawa pengunjung seakan menghidupkan sisi lain dari gunung ini.
Tak jauh dari Gunung Kemukus ada Waduk Kedung Ombo, salah satu waduk terbesar di Jawa Tengah. Banyak wisatawan menyempatkan diri mampir untuk menikmati panorama air yang luas, kuliner ikan bakar, atau sekadar bersantai di tepi waduk.
Di sekitar area wisata, banyak pedagang yang menjual makanan khas Jawa seperti pecel, sate ayam, hingga jajanan pasar. Beberapa tempat juga menjual oleh-oleh khas Sragen.
Penutup
Gunung Kemukus penuh cerita. Ada sisi mistis, ada juga sisi budaya yang menarik untuk dipelajari. Meski dulu sempat terkenal dengan ritual kontroversial, sekarang tempat ini sebagai destinasi wisata religi yang ramah untuk peziarah maupun wisatawan biasa.
Kalau kamu berkunjung ke Sragen, Gunung Kemukus bisa jadi pilihan buat melihat langsung bagaimana masyarakat Jawa masih menjaga tradisi dan legenda yang sudah berusia ratusan tahun.***
Penulis : Agus Purwoko
Editor : Gusmo
Sumber Berita: Berbagai Sumber