SuaraBhinneka.id (Jember) – Setiap hari, deru roda kereta api membelah wilayah tapal kuda Jawa Timur. Di balik suara khas itu, ada kisah panjang perkeretaapian yang terus hidup di bawah naungan Daerah Operasi (Daop) 9 Jember.
Jaringan relnya tidak sekadar menghubungkan kota dan desa, tetapi juga menjadi nadi yang menggerakkan ekonomi, pariwisata, hingga budaya masyarakat setempat. Bagi warga desa, kereta api sudah lama menjadi sahabat perjalanan.
Di stasiun-stasiun kecil seperti Ledokombo, Sempolan, Garahan, Glenmore, Sumberwadung, hingga Argopuro, masyarakat kini bisa naik dan turun KA Pandanwangi. Kereta ini membuka akses lebih mudah menuju kota, membawa hasil bumi, sekaligus memberi kesempatan bagi anak-anak desa merasakan perjalanan yang dulu hanya mereka dengar dari cerita orang tua.
Namun, kekayaan Daop 9 Jember tidak hanya soal fungsi transportasi. Ada stasiun-stasiun tua yang menyimpan jejak kolonial, seperti Stasiun Pasuruan, Probolinggo, dan Klakah. Bangunannya masih tegak berdiri, menjadi saksi bisu bagaimana rel kereta dulu menjadi penghubung perniagaan sekaligus perkembangan kota-kota di pesisir utara Jawa Timur.
Perjalanan kereta di lintas Jember–Banyuwangi menghadirkan kisah berbeda. Dari jendela gerbong, mata penumpang dimanjakan hamparan sawah hijau, barisan pegunungan, hingga pesisir yang tenang. Di jalur ini pula berdiri sebuah terowongan tua, penanda teknologi perkeretaapian Indonesia sudah ada jauh sebelum kata modernisasi akrab di telinga.
Menjelang ujung perjalanan, Stasiun Banyuwangi Kota menyambut penumpang dengan arsitektur khas Osing. Detail ukirannya menyelipkan identitas lokal yang kuat, seakan ingin menegaskan, kereta api bukan hanya alat angkut atau transportasi, melainkan bagian dari kebanggaan budaya masyarakat Banyuwangi.
Tak jauh dari sana, berdiri Stasiun Ketapang, stasiun paling ujung di Pulau Jawa. Letaknya berdampingan dengan Pelabuhan Ketapang, menjadi gerbang bagi penumpang yang hendak menyeberang ke Bali. Dari titik ini, rel dan lautan seolah berjumpa, menjadikan perjalanan kereta api benar-benar terintegrasi dengan jalur lintas pulau.
Semua potensi itu, stasiun kecil yang masih hidup, bangunan bersejarah, panorama jalur indah, hingga arsitektur berciri khas, menginspirasi PT KAI Daop 9 Jember menggelar Lomba Foto dalam rangka HUT ke-80 KAI. Dengan tema “Kereta Api dan Arsitektur”, masyarakat diajak menangkap sudut lain dunia perkeretaapian.
“Lomba fotografi ini kami hadirkan bukan sekadar sebagai kompetisi, tetapi ruang ekspresi untuk menangkap sisi humanis, historis, dan modern dari kereta api. Kami ingin menunjukkan bahwa kereta api adalah bagian dari perjalanan budaya dan sejarah bangsa yang terus bertransformasi,” ujar Manager Hukum dan Humas Daop 9 Jember, Cahyo Widiantoro.
Tak hanya soal cerita dan estetika, kereta api juga memikul peran sebagai transportasi berkelanjutan. Dengan daya angkut massal dan efisiensi energi, moda ini terbukti mampu menekan emisi karbon. KAI pun terus berbenah dengan layanan digital, fasilitas ramah disabilitas, hingga inovasi pelayanan yang lebih modern.
Lomba fotografi ini berlangsung mulai tanggal 4 sampai dengan 20 September 2025. Para pemenang akan diumumkan, 26 September dengan total hadiah Rp6 juta. Karya terbaik nantinya dipamerkan di Stasiun Jember serta stasiun lain di wilayah Daop 9, menjadi bukti bahwa rel kereta bukan hanya jalur besi, melainkan ruang hidup yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
“Kami berharap ulang tahun ke-80 ini menjadi refleksi bahwa kereta api hadir bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau, modern, dan berkelanjutan,” tutup Cahyo.***
Penulis : Agus Purwoko
Editor : Gusmo
Sumber Berita: Rilis PT KAI Daop 9 Jember