Kacamata: Dari Batu hingga Plastik dan Kaca Dijepit di Hidung

Minggu, 6 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penampakan kacamata kuno. Foto: Meta AI

Penampakan kacamata kuno. Foto: Meta AI

Sulit membuktikan siapa pencipta pertama kacamata. Namun, evolusi benda ini dimulai sejak zaman Kekaisaran Romawi. Konon, kacamata termasuk salah satu penemuan paling penting dalam sejarah umat manusia, setara dengan penemuan api dan roda.

Dari fungsi awalnya kaca mata sebagai alat bantu baca, hingga menjadi simbol gaya hidup dan aksesori mode, perjalanan kacamata sangatlah panjang. Pada masa awal, orang Romawi kuno menggunakan bola kaca yang dibentuk cembung untuk memperbesar tulisan.

Benda yang kemudian dikenal sebagai “batu baca”. Ini bisa dianggap sebagai cikal bakal lensa pembesar modern. Meski banyak orang mengira Benjamin Franklin, penemu kacamata, kenyataannya konsep dasar kacamata sudah ada sekitar 400 tahun.

Sebelum kelahiran Franklin di abad ke-18. Franklin, dikenal penemu kacamata bifokal, yaitu kacamata dengan dua jenis lensa dalam satu bingkai, yang memudahkan pemakai melihat dekat dan jauh tanpa harus berganti kacamata.

Batu Zamrud Kaisar Nero: Cikal Bakal Kacamata?

Catatan sejarah pertama mengenai benda yang menyerupai kacamata datang dari era Kekaisaran Romawi, tepatnya Kaisar Nero yang memerintah antara tahun 54 hingga 68 M. Dikisahkan, Nero menggunakan batu zamrud saat menonton pertandingan gladiator di arena Colosseum.

Batu tersebut dimanfaatkan untuk melihat dengan lebih jelas atau mungkin untuk mengurangi silaunya cahaya matahari. Namun, hingga kini para sejarawan masih berselisih pendapat: apakah penggunaan batu zamrud oleh Nero, bermasalah dengan penglihatannya.

Atau semata-mata karena alasan kenyamanan dan gaya. Meski begitu, benda tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk awal dari alat bantu visual atau penglihatan, jauh sebelum lensa optik ditemukan.

Potongan Bola Kaca: Jejak Ilmuwan Muslim dalam Awal Mula Kacamata

Perkembangan awal kacamata tak bisa lepas dari ilmuwan Muslim dari Irak, Ibn al-Haytham (sekitar 965–1040 M). Sarjana dan astronom yang dikenal sebagai pelopor dalam studi cahaya dan mekanisme penglihatan.

Dalam penelitiannya, Ibn al-Haytham bereksperimen dengan berbagai jenis lensa dan cermin, mulai datar, cembung, cekung, hingga parabola dan silindris. Objek tampak lebih besar saat dilihat dari media transparan tebal, seperti air atau kaca. Inilah awal mula pemahaman ilmiah pembiasan cahaya.

Sekitar tahun 1027 M, Ibn al-Haytham menyelesaikan karya monumentalnya berjudul Kitab al-Manazir (Buku Optik), yang menjadi rujukan dunia ilmiah, hingga Eropa abad pertengahan. Dalam bukunya, Ibn al-Haytham menyarankan, kaca yang dipoles dan dibentuk akan membantu orang yang penglihatannya terganggu.

Kaca Pembesar: Dari Gagasan ke Aplikasi Awal

Memasuki abad ke-13, sarjana Inggris Roger Bacon (1214–1294) menulis tentang penggunaan kaca pembesar. Ia menjelaskan, potongan bola kaca memperbesar objek visual, khususnya huruf kecil yang sulit dibaca.

Dalam salah satu tulisannya, Bacon menyatakan:

“Karena alasan ini, alat ini berguna untuk orang tua dan orang yang punya kelemahan penglihatan, karena memungkinkan mereka dapat melihat huruf sekecil apa pun.”

Baca Juga  Bangunan Pencakar langit: Ambisi, Inovasi, dan Keajaiban Teknik Modern.

Beberapa sejarawan ilmu pengetahuan meyakini, kalau Bacon terinspirasi karya Ibn al-Haytham, terutama Kitab al-Manazir, yang lebih dulu mengulas pembiasan cahaya dan efek pembesaran melalui media transparan.

Buku Bacon merupakan catatan pertama di Eropa yang mengaitkan penggunaan lensa cembung untuk membaca. Sayangnya, tidak ada bukti, kalau Bacon pernah membuat atau menggunakan alat tersebut. Ia hanya menyampaikan teori dan manfaatnya. Pemikiran Bacon langkah menuju realisasi kacamata sebagai alat bantu penglihatan.

Kacamata Beryl: Awal Penggunaan di Eropa

Kacamata pertama kali dikenal luas di Eropa akhir abad ke-13 Masehi, dan muncul dalam karya seni pertengahan abad ke-14. Dalam era itu, kacamata digambarkan dengan dua lensa bulat yang dipasang dalam bingkai logam dan dihubungkan oleh poros, membentuk struktur menyerupai huruf “V”.

Menariknya, kacamata kala itu belum ada gagang telinga seperti desain modern, lebih mirip penjepit hidung. Yang membedakan bahan lensanya. Bukannya terbuat dari kaca, lensa pada masa itu menggunakan mineral beryl, sejenis batu bening yang punya sifat pembiasan cahaya.

Dari sinilah muncul istilah “beryllen” bahasa Jerman untuk menyebut kacamata. Salah satu bukti paling awal keberadaan kacamata dilukisan karya Tommaso da Modena 1352, yang dipajang di dinding gereja San Nicolò, Treviso, Italia.

Dalam lukisan tersebut, Kardinal Hugh of St. Cher digambarkan tengah membaca mengenakan kacamata. Ini dianggap sebagai representasi visual tertua tentang kacamata.

Lorgnette: Kacamata Bergaya di Era Elegan

Pada akhir abad ke-18, muncul bentuk kacamata yang tak hanya fungsional, tetapi modis lorgnette. Kacamata ini terdiri dua lensa kecil dengan pegangan di samping. Kata lorgnette bahasa Prancis lorgner, yang berarti melirik atau mengawasi diam-diam.

Lorgnette diciptakan sekitar tahun 1770 oleh George Adams I (1709–1772), pembuat instrumen ilmiah asal Inggris. Putranya mengilustrasikan alat ini dalam bukunya Essay on Vision (terbit 1789 dan 1792), lorgnette digambarkan “semacam pengganti kacamata…”

Awalnya, alat bantu optik lebih banyak dipakai pria. Abad ke-19, lorgnette dipakai juga oleh perempuan bangsawan dan kalangan atas. Desainnya yang artistik dan feminin, lorgnette bukan hanya alat bantu penglihatan, tetapi aksesori fesyen yang anggun dan berkelas.

Lorgnette berkembang bentuknya, seperti kipas lorgnette, lensa disembunyikan dilipatan kipas. Gaya ini dipopulerkan Marie Antoinette, Ratu Prancis abad ke-18. Sepanjang abad ke-19, perempuan yang menonton teater dan pertunjukan opera, membawa lorgnette simbol status dan keanggunan.

Kacamata Bifokal: Solusi Pandangan Dekat dan Jauh

Salah satu inovasi dalam sejarah kacamata, munculnya kacamata bifocal, kacamata dua bagian dalam satu lensa. Lensa bagian atas untuk melihat objek jarak jauh, sementara lensa bawah untuk membaca atau melihat jarak dekat.

Baca Juga  Ilmu Rawarontek: Legenda Kekebalan dan Pemiliknya Tak Pernah Mati

Penemuan ini dikaitkan dengan Benjamin Franklin, ilmuwan dan negarawan Amerika Serikat, yang menciptakan desain kacamata bifokal tahun 1784. Saat itu, Franklin mengalami presbiopia, kondisi umum yang terjadi bertambahnya usia, mata kehilangan kemampuan fokus pada objek dekat.

Ketimbang terus-menerus mengganti lensa baca dan lensa jarak jauh, Franklin menggabungkan kedua fungsi tersebut dalam satu bingkai. Ia memotong dua pasang lensa berbeda, lalu menyatukan dalam satu kacamata, kacamta seperti yang kita kenal sekarang.

Kacamata Berlensa Satu (Monocle)

Kacamata berlensa satu digunakan dengan cara dipasang pada rongga mata pemakai dan biasanya digantung di leher dengan tali, pita, atau rantai. Banyak dari kacamata ini awalnya dibingkai dengan logam, kulit penyu, atau tanduk.

Monocles diperkenalkan pada abad ke-18, tetapi makin mendapat sorotan pada abad ke-19 di Eropa. Ia menjadi bagian umum dari pakaian pria kaya. Kacamata ini sering dipasangkan dengan topi dan mantel.

Salah satu pemakainya yang paling awal yang diketahui adalah penyuka barang antik dari Prusia, Philipp Von Stosch yang mengenakan kacamata berlensa di Roma pada tahun 1720-an. Ia mengenakannya untuk memeriksa ukiran dan permata berukir. Awalnya disebut cincin mata, kacamata ini segera menyebar ke Austria berkat seorang ahli kacamata, JF Voigtlander, yang mulai membuatnya di Wina pada sekira 1814. Mode ini dengan cepat populer di Inggris dan Rusia.

Monocles kemudian menjadi tidak disukai di sebagian besar Eropa barat dan Amerika Serikat selama Perang Dunia I (1914-18). Itu ketika kacamata ini dikaitkan dengan perwira militer Jerman yang sering digambarkan memakainya.

Pince-nez: Kacamata Jepit yang Ikonik

Pince-nez adalah jenis kacamata yang menutupi kedua mata tanpa gagang telinga. Nama “pince-nez” berasal dari bahasa Prancis: pincer berarti “mencubit”, dan nez berarti “hidung”. Cara memakainya dijepitkan di pangkal hidung.

Desain seperti itu, pince-nez kurang nyaman dipakai bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang bentuk hidungnya tidak mendukung pemakaian jepitan. Oleh karena itu, pince-nez kemudian dilengkapi rantai atau tali yang dikaitkan ke pakaian atau digantung di leher.

Bentuk dasar dari bentuk kacamata ini abad ke-15 hingga ke-17 di Eropa, kacamata pince-nez populer antara 880 hingga 1900. Salah satu tokoh terkenal yang menggunakan pince-nez adalah Anton Pavlovich Chekhov, penulis asal Rusia.

Kacamata Warna-warni: Dari Perlindungan Mata ke Pernyataan Gaya

Kacamata hitam popular diera 1930-an. Sekitar tahun 1913, ilmuwan asal Inggris Sir William Crookes mencipta lensa yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan inframerah. Seiring berjalannya waktu, tahun 1940-an, kacamata dengan beragam desain dan warna, beredar.

Baca Juga  Mengenal Batu Permata, Tuntunan Bagi Pecinta dan Kolektor

Tak hanya sebagai pelindung mata, tetapi kacamata sebagai gaya hidup. Tren kacamata pun berkembang, terutama di dunia mode. Pada 1950-an, perempuan banyak mengenakan kacamata bingkai runcing diujung atasnya, atau cat-eye glasses. Sementara pria cenderung memilih bingkai kawat emas, yang mencerminkan kesan formal, intelektual, dan elegan.

Era ini menjadi titik balik, kacamata tak lagi sekadar kebutuhan optik, melainkan bagian dari identitas. Perpaduan fungsi dan fashion inilah yang terus berkembang hingga hari ini.

Kacamata Berlensa Besar: Mode yang Membingkai Wajah

Memasuki paruh kedua abad ke-20, kacamata kian kuat posisinya sebagai bagian dari gaya. Tak lagi alat bantu penglihatan, kacamata sudah sebagai aksesori fesyen. Dunia selebritas berperan mempengaruhi tren kacamata.

Salah satu ikon adalah Jacqueline Kennedy Onassis, mantan Ibu Negara Amerika Serikat (1961–1963), yang pada era 1970-an kerap mengenakan kacamata lensa besar. Gaya khasnya yang elegan dan glamor ikut mendorong popularitasnyaa.

Lensa besar tak hanya melindungi mata, tetapi simbol dari keberanian berbusana, individualitas, bahkan sedikit sentuhan misteri. Tren ini bertahan hingga dekade 1980-an, meski sempat meredup. Kacamata lensa besar kembali populer di era modern sebagai bagian dari gaya retro.

Lensa Plastik: Ringan dan Lebih Aman

Memasuki era 1980-an, dunia optik mengalami lompatan besar melalui inovasi lensa berbahan plastik berkualitas. Sebelumnya, lensa kacamata terbuat dari kaca jernih, namun berat dan rentan pecah. Karenanya muncul lensa plastik, yang lebih ringan, tahan benturan, dan aman .

Kacamata Masa Kini: Antara Fungsi, Mode, dan Teknologi

Di zaman modern, kacamata berevolusi melampaui fungsinya sebagai alat bantu penglihatan. Kini, kacamata tidak hanya mencerminkan kebutuhan optik, tetapi penanda gaya hidup, pernyataan mode, bahkan perangkat teknologi canggih.

Beragam model kacamata hadir dalam berbagai desain, bahan, dan warna, dari minimalis, klasik, retro, hingga futuristik. Bahan ringan dan fleksibel seperti titanium atau plastik TR-90. Lensa pun semakin canggih, dengan teknologi anti radiasi, fotokromik (berubah warna sesuai cahaya), blue light filter untuk layar digital, hingga lensa progresif.

Lebih jauh lagi, kemunculan kacamata pintar (smart glasses) menandai babak baru dalam sejarah kacamata. Produk seperti Google Glass atau Ray-Ban Meta menawarkan fitur seperti kamera mini, koneksi internet, augmented reality (AR), dan integrasi dengan asisten virtual, kacamata dibawa ke ranah teknologi.

Hari ini, kacamata merupakan perpaduan antara kebutuhan medis, ekspresi diri, dan teknologi. Kacamata telah menempuh perjalanan panjang, dari batu zamrud Kaisar Nero hingga bingkai bergaya dan lensa digital. Bukti kalau benda kecil tersebut dulunya hanya alat bantu penglihatan, kini menjadi bagian dari identitas manusia modern.***

 

Penulis : Agus Purwoko

Editor : Gusmo

Sumber Berita: Berbagai Sumber

Berita Terkait

VW Kodok Biru Bandyk Soetrisno: Teman Setia di Masa Pensiun
Samsung Galaxy A33 5G: Spesifikasi, Fitur, dan Harga Ringan
Cara Alami Atasi Uban di Usia Muda, Pola Makan dan Kebiasaan
Alfamart Didirikan Djoko Susanto Dari Toko Kelontong
William Tanuwijaya: Dari Penjaga Warnet Hingga Pemilik Tokopedia
Indomaret, Pelopor Bisnis Waralaba di Indonesia Didirikan Anthoni Salim
Pramuka, Kepanduan yang Pernah Dilarang dan Dibubarkan Belanda dan Jepang
Gedung Tertinggi yang Punya Banyak Fasilitas, Bahkan Lima Lantai Bawah Tanah

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 08:53

VW Kodok Biru Bandyk Soetrisno: Teman Setia di Masa Pensiun

Senin, 18 Agustus 2025 - 18:27

Samsung Galaxy A33 5G: Spesifikasi, Fitur, dan Harga Ringan

Kamis, 14 Agustus 2025 - 09:13

Cara Alami Atasi Uban di Usia Muda, Pola Makan dan Kebiasaan

Selasa, 12 Agustus 2025 - 09:24

Alfamart Didirikan Djoko Susanto Dari Toko Kelontong

Selasa, 12 Agustus 2025 - 09:13

William Tanuwijaya: Dari Penjaga Warnet Hingga Pemilik Tokopedia

Berita Terbaru